Sabtu, 10 Januari 2015

manifestasi oral penyakit sistemik

MANIFESTASI ORAL PENYAKIT SISTEMIK









Disusun Oleh :
FITRI WIDIYA HADIATI
KELOMPOK 6



FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
INSTITUT ILMU KESEHATAN
KEDIRI 2015


KATA PENGANTAR
             Ucapan puji syukur kami panjatkan Atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan setelah mengalami berbagai prosedur akhirnya terselesaikan juga makalah ini sebagai tugas Tutorial Learning blok OM skenario 1 ”Manifestasi Oral Penyakit Sistemik. Dalam penyajiannya kami menyusun tiap bab dengan uraian singkat dan pembahasan serta kesimpulan akhir. Dalam makalah ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.      drg. Sindy Sabatina, yang dengan sabar membimbing dan memberikan arahan kepada kami dalam proses Tutorial blok OM skenario 1 dari awal hingga akhir
2.      Seluruh dosen yang telah membantu melancarkan proses tutorial hingga pembuatan makalah.
3.      Pihak institusi yang telah menyediakan segala fasilitas pembelajaran
4.      Orang tua yang telah memberikan do’a dan restu hingga proses pembuatan makalah ini berjalan dengan lancar.
5.      Semua pihak terkait yang telah membantu yang belum disebut baik secara langsung.
 Penulis menyadari makalah kami masih ada kekurangan. Penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang sekiranya dapat membangun agar penyusunan makalah ini menjadi lebih baik dan lebih berguna bagi semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya dapat menambah wacana dan pengetahuan Mahasiswa Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.

                                                                                    Kediri, 10 Januari 2015                                                                                                                                              
                                                                                         Penulis



 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikro-jasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokan organ dan jaringan. Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan sendiri tetapi biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen sendiri.
Sistem  munitas kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antigen asing dan menghasilkan antibodi (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi. Ada beberapa penyakit autoimun yang ada hubungannya dengan gigi dan mulut. Salah satunya adalah AIDS, dimana ia merupakan penyakit autoimun yang berbahaya.
HIV (human immunodeficiency virus ) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama CD4+ T cell dan macrophage, komponen vital dari sistem sistem kekebalan tubuh tuan rumah " dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka, sehinggadari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akansemakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur sistemimunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik responimun seluler maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistemimun seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal (Prince,2006).
Manifestasi di mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV meliputi, Infeksi karena jamur (Oral Candidiasis) , infeksi Virus  dan Infeksi Bakteri. Kandiasis mulut sejauh ini merupakan tanda di dalam mulut yang paling sering dijumpai baik pada penderita AIDS dan merupakan tanda dari manifestasi klinis pada penderita kelompok resiko tinggi pada lebih59% kasus. Kandidiasis mulut atau faring adalah infeksi jamur tersering yang dijumpai sebagai manifestasi awal oleh HIV. Kebanyakan pasien juga didapatkan kandidiasis di esophagus.
Disini dokter gigi merupakan profesi yang pekerjaanyaa berhubungan erat dengan gigi dan mulut, dimana didalam rongga mulut terdapat manifestasi yang merupakan tanda awal  infesi HIV dan sebagai dokter gigi harus mengetahui tanda-tanda tersebut, selain itu dokter gigi dapat mengantisipasi penularan AIDS terutama saat melakukan tindakan terhadap pasiennya.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa pengaruh penyakit Autoimun terhadap gigi dan mulut?
2.      Apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS ?
3.      Bagaimana manifestasi oral penyakit sistemik?
4.      Bagaimana gambaran klinis dari sarcoma karposi’s?

1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah, penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk mengetahui tentang pengaruh penyakit Autoimun terhadap gigi dan mulut. Dimana salah satunya adalah HIV AIDS dan bagaimana manifestasi oral penyakit sistemik tersebut serta cara pencegahan saat praktek dokter gigi.
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dampak Penyakit Autoimun Terhadap Penyakit Gigi dan Mulut
2.1.1 Definisi Penyakit Autoimun
Penyakit autoimun manusia sering terjadi dan memberikan pengaruh yang signifikan morbiditas dan mortalitas pada populasi manusia. Penyakit autoimun didefinisikan sebagai penyakit di mana respon imun terhadap antigen-diri yang spesifik berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang berkelanjutan yang terjadi pada penyakit itu. AD bisa berupa jaringan khusus (misalnya, tiroid, sel-β pankreas), dimana antigen jaringan khusus yang khas yang menjadi target, atau mungkin lebih sistemik, di mana beberapa jaringan yang dipengaruhi, dan berbagai autoantigens tampaknya dinyatakan menjadi target. Meskipun definisi yang muncul relatif sederhana, kompleksitas gangguan ini sangat besar, dan telah sangat menantang penjelasan dari mekanisme sederhana. Kompleksitas ini mempengaruhi hampir setiap domain, termasuk genetika, fenotipik, dan kinetika. Dalam kasus terakhir, sering ada periode yang lama antara onset awal gejala dan perkembangan fenotip diagnostik, dan penyakit dapat bervariasi dalam ekspresi pada individu yang sama dari waktu ke waktu.
Autoimunitas tidak disebabkan oleh penyebab tunggal dan dipicu oleh berbagai agen dan jalur molekuler dan seluler dan peristiwa. Beberapa unsur dan mekanisme yang mendasari respon autoimun telah diidentifikasi. Namun, meskipun AD itu dipicu pemicu tunggal, peristiwa lain dan mekanisme yang mengatur juga ikut berperan, sehingga menambah kompleksitas proses. (Fatmah, 2006)
2.2.2 Macam Penyakit Autoimun Pada Gigi dan Mulut
2.2.2.1  Sindrom Sjogren
Atau sering disebut autoimmune exocrinopathy adalah penyakit autoimun sistemik yang terutama mengenai kelenjer eksokrin dan biasanya memberikan gejala kekeringan persisten pada mulut dan mata akibat gangguan fungsional kelenjer saliva dan lakrimalis. 20-30 % pasien sindrom sjogren primer mengalami pembesaran kelenjar parotis atau submandibularis yang tidak nyeri.Pembesaran kelenjar ini dapat bertransformasi menjadi limfoma. (Alimudiamis, 2009)
2.2.2.2 Pemphigoid
Merupakan penyakit vesikulobulus autoimun yang jarang terjadi, dan dapat menyerang kulit dan mukosa mulut. Kondisi ini ditandai dengan pembentukan bulla sub epitalial. Gambaran oral sangat bervariasi tetapi kadang-kadang terlihat sebagai daerah-daerah ulserasi mukosa atau gingivitis deskuamatif.
2.2.2.3 Pemphigus
Merupakan sekumpulan kelainan vesikulobulous yang ditandai oleh serangan pada kulit, mulut, serta daerah membran mukosa lainnya. Gambaran klinis pemphigus tidak spesifik dengan daerah yang mengalami erosi pada mukosa mana saja
Pemphigus biasannya penyakit orang tua dan wanita lebih banyak terserang dibandingkan pria.
2.2.2.4 Anemia Pernisiosa
Penyakit autoimun ini biasannya terjadi pada wanita tua dan setengan baya. Pasien tidak mempunyai keluhan spesifik pada saluran pencernaan tetapi akan mengalami simptom-simptom sebagai akibat kekurangan vitamin B12. Gambaran oral memperlihatkan adanya glositis, keilitis, angularitis, sindrom rasa terbakar pada mulut atau ulserasi oral yang berulang.(Sudoyo, 2006)
2.2.2.5 Lichen Planus
Lichen Planus adalah suatu penyakit kulit biasa yang seringkali mempunyai manifestasi mukosa.Etiologi dan patogenesisnya tidak dketahui , meskipun bukti menunjukkan bahwa lichen planus adalah kelainan imunologik, kemungkinan suatu penyakit autoimu, dimana limfosit T merusak lapisan sel basal dari epitel yang terkena.
Lesi-lesi kulit dari lichen planus pada awalnya terdiri atas papula-papula kecil, puncaknya rata, merah dengan tengahnya berlekuk. Papula sedikit demi sedikit mendapat warna ungu dan licheniikasi permukaan terdiri atas striae putih kecil. Lesi – lesi oral dari lichenplanus  dapat mempunyai 1 dari 4 gambaran : atrofik, erosif, menyebar (retikuler) atau mirip plak. (Sudoyo, 2006)

2.2 HIV/AIDS
2.2.1 Definisi HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV tergolong dalam kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk “mengkopi-cetak” materi genetik diri di dalam materi genetik sel-sel yang ditumpanginya. Melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel T-4.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV. Istilah AIDS meliputi tidak saja adanya manifestasi gejala klinik yang khusus yaitu sindroma menurunnya sistem kekebalan tubuh, tetapi juga mengenai spectrum keseluruhan masalah kesehatan yang berhubungan dengan infeksi HIV. AIDS kurang tepat jika disebut sebagai penyakit sebab penyakit yang menyerang sangat bervariasi. Defenisi yang benar adalah Syndrom atau kumpulan gejala penyakit (IDI, 2008)).

2.2.2 Patogenesis HIV/AIDS
1.      Virus masuk kedalam tubuh penjamu, terutama menginfeksi CD4. CD4 adalah baian dari limfosit yang bertugas melawan kuman, bakteri dan virus.
2.      Infeksi: virus menembus sel. Isi sel dikosongkan dalam sel.
3.      Pengikatan dan peleburan: virus mengikat pada reseptor CD4 dan salah satu koreseptor (CCR5/CXCR4) kemudian virus meleburkan diri ke dalam sel.
4.      Reverse transcription: RNA (serat tunggal) virus diubah menjadi DNA (2 serat) oleh enzim reverse transcription.
5.      Pemaduan: DNA virus disatukan dengan DNA sel oleh enzim integrase
6.      Transcription: waktu sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA virus “dibaca” dan rantai protein yang panjang dibuat
7.      Perakitan: rantai protein virus mengelompok.
8.      Tonjolan: jutaan virus yang belum matang mendesakkeluar sel. Enzim protease mulai mengelola protein dalam virus yang baru terbentuk.
9.      Virus yang belum matang melepaskan diri dari sel yang terinfeksi.
10.  Menjadi matang: rantai protein pada bibit virus baru dipoton oleh enzim protease menjadi protein tunggal. Protein ini menggabungkan menjadi virus yang siap bekerja.
Mekanisme utama infeksi HIV dimulai setelah virus masuk ke dalam tubuh  pejamu. Setelah  masuk ke dalam tubuh pejamu, HIV terutama akan menginfeksi   CD4 limfosit, juga menginfeksi makrofag, sel dendritik, serta sel mikroglia. Selubung  protein  yaitu  gp120 memanfaatkan antigen CD4 sebagai reseptor untuk perlekatan  awal. Kemudian terjadi perubahan bentuk  dimana gp120 membutuhkan koreseptor  (biasanya ko-reseptor chemokine CCR5), sehingga memungkinkan selubung protein  kedua yaitu gp41 untuk berinteraksi dengan membran sel pejamu dan memungkinkan HIV  masuk ke dalam sel.
RNA dari HIV kemudian akan membentuk DNA  serat ganda oleh enzim reverse transcriptase. Setelah DNA virus yang dibentuk masuk ke dalam inti selpejamu dan berintegrasi dengan DNA dari sel pejamu akan ikut mengalami replikasi pada setiap terjadi proliferasi sel. Setiap hasil replikasi DNA ini selanjutnya akan menghasilkan virus baru. Kemudian virus baru ini akan berkembang di dalam membran sel. (Sasongko, 1996)
2.2.3 Fase HIV/AIDS
Menurut The Center of Disease Control (CDC), setelah terpapar HIV, penderita tidak secara langsung menimbulkan gejala klinis AIDS. Ada beberapa tahapan infeksi HIV sampai timbulnya manifestasi klinis; yaitu tahap infeksi HIV akut, infeksi HIV asimtomatik (masa laten) yang tidak menimbulkan gejala, limfadenopati (radang kelenjar getah bening) yang persisten dan menyeluruh, sampai akhirnya timbul tanda-tanda penyakit yang menakutkan pada pasien, yaitu tahap AIDS. (Price, 2006)
a. Infeksi HIV akut
Sekitar dua sampai enam minggu setelah terinfeksi (biasanya dua minggu), akan terjadi sindrom retroviral akut. Lebih dari setengah orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer yang bervariasi seperti demam, adenopati, faringitis, kelainan kulit, diare, sakit kepala, mual dan muntah, hepatosplenomegali, penurunan berat badan, gangguan jamur di rongga mulut, dan gejala neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang kepala, depresi).15-17 Gejala ini tidak spesifik pada infeksi HIV saja, tetapi juga akan terjadi pada infeksi retrovirus lain. Setelah dua sampai enam minggu gejala dapat menghilang disertai serokonversi, dengan atau tanpa pengobatan.
Setelah terinfeksi HIV, ada saat dimana pemeriksaan serologi antibodi HIV terhadap pasien menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam tubuh hospes. Fase ini disebut periode jendela (window period), yaitu penderita sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodinya menunjukkan hasil negatif. Periode ini dapat berlangsung selama tiga sampai dua belas minggu.
b. Infeksi HIV asimtomatik (masa laten)
Terdapat jeda waktu yang panjang pada pasien, yang mana pasien tidak mengalami manifestasi fisik dari infeksi, tapi tetap anti-HIV positif. Sebagian besar pengidap HIV berada pada fase laten ini tidak terlihat gejala pada pasien. Penderita terlihat sehat, dapat melakukan aktivitas secara normal, namun sudah dapat menularkan virus kepada orang lain.16,17 Jumlah virus di dalam darah dan jaringan limfoid pasien berada dalam batas rendah dan jumlah CD4 limfosit masih berada dalam batas normal. Masa laten klinis ini dapat terjadi selama dua minggu sampai delapan tahun atau lebih.
c. Limfadenopati persisten yang menyeluruh
Limfadenopati atau pembesaran kelenjar getah bening didefinisikan dengan adanya nodus limfe yang berdiameter lebih dari satu sentimeter pada dua atau beberapa daerah ekstra inguinal selama lebih dari tiga bulan, tetapi tidak terdapat penyakit atau kondisi lain selain infeksi HIV yang menjelaskan alasan dari keadaan tersebut.
d. Infeksi HIV simtomatik (AIDS)
Pada fase ini terjadi perubahan progresif dalam pengaturan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh limfopenia sel-T, dan berkurangnya fungsi T-cell helper ini yang mengakibatkan AIDS berkembang sepenuhnya. Penyakit ini ditandai oleh infeksi-infeksi oportunistik dan kerentanan terhadap bentuk–bentuk kanker tertentu.17 Jumlah CD4 pasien sudah berada pada taraf kritis, hingga dibawah 200sel/ul darah.
Beberapa penyakit yang dapat timbul pada pasien seperti di bawah ini17 :
1.      Penyakit Konstitusional
Gejala-gejala seperti demam atau diare yang persisten selama lebih dari satu bulan atau penurunan berat badan yang lebih dari 10% dari berat ideal pasien sebelum sakit, yang tidak terdapat infeksi atau penyakit lain yang dapat menjelaskan alasan keadaan tersebut, selain infeksi HIV/AIDS.
2.      Penyakit Neurologi
Banyak pasien yang mengalami simtom neurologi sebelum mengalami tanda infeksi HIV lainnya. Pada mulanya pasien akan mengalami kehilangan memori, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari pergaulan sosial, dan letargi. Tanda awal tersebut sering dianggap sebagai suatu depresi dan biasanya diabaikan, sampai akhirnya berkembang menjadi gangguan yang lebih dramatis seperti demensia yang hebat dan keterbelakangan psikomotor. Gangguan motoris pada mulanya terlihat dari hilangnya koordinasi, tremor, langkah yang goyah, dan bahkan dapat berkembang menjadi ataksia dan paraplegia yang hebat.
3.      Penyakit Infeksi Sekunder (Infeksi Oportunistik)
Organisme yang relatif nonvirulen dalam tubuh dapat mengakibatkan infeksi yang hebat dan mengancam jiwa pada pasien yang sistem imunnya sudah rusak akibat HIV. Infeksi oportunistik yang sering dijumpai antara lain Pneumonia pneumositis cranii, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, tuberkulosis, kandidiasis rongga mulut, dan lain sebagainya.
4.      Kanker Sekunder
Diagnosis dari satu atau beberapa kanker yang terbukti mempunyai hubungan dengan infeksi HIV merupakan indikator dari hilangnya imunitas sel sebagai mediator. Infeksi kanker sekunder yang sering terjadi adalah Sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin, atau limfoma primer dari otak.
5.      Keadaan lain pada Infeksi HIV
Tanda klinis dari penyakit, yang tidak diklasifikasikan seperti di atas, dapat berperan pada infeksi HIV dan merupakan indikator dari cacat pada imunitas sel sebagai mediator pasien, simtom yang berhubungan dengan infeksi HIV termasuk Pneumositis interstisial limfoid kronis dan simtom-simtomnya, dan penyakit infeksi sekunder dan neoplasma lain yang tidak tercantum di atas.
2.2.4 Penularan HIV/AIDS
Virus HIV terdapat dalam sebagian cairan tubuh, diantaranya: Darah, Air mani, Cairan vagina, dan Air susu ibu (ASI).Virus HIV biasanya menular melalui:
1.     Penularan Secara Seksual.
HIV dapat ditularkan melalui seks penetratif yang tidak terlindungi. Sangat sulit untuk menentukan kemungkinan terjadinya infeksi melalui hubungan seks, kendatipun demikian diketahui bahwa risiko infeksi melalui seks vaginal umumnya tinggi. Penularan melalui seks anal dilaporkan memiliki risiko 10 kali lebih tinggi dari seks vaginal. Seseorang dengan infeksi menular seksual (IMS) yang tidak diobati, khususnya yang berkaitan dengan tukak/luka dan duh (cairan yang keluar dari tubuh) memiliki rata-rata 6-10 kali lebih tinggi kemungkinan untuk menularkan atau terjangkit HIV selama hubungan seksual. Dalam hal penularan HIV, seks oral dipandang sebagai kegiatan yang rendah risiko. Risiko dapat meningkat bila terdapat luka atau tukak di sekitar mulut dan jika ejakulasi terjadi di dalam mulut.


2.    Penularan melalui pemakaian
Jarum suntik atau semprit secara bergantian: Menggunakan kembali atau memakai jarum atau semprit secara bergantian merupakan cara penularan HIV yang sangat efisien. Risiko penularan dapat diturunkan secara berarti di kalangan pengguna narkoba suntikan dengan penggunaan jarum dan semprit baru yang sekali pakai, atau dengan melakukan sterilisasi jarum yang tepat sebelum digunakan kembali. Penularan dalam lingkup perawatan kesehatan dapat dikurangi dengan adanya kepatuhan pekerja pelayanan kesehatan terhadap Kewaspadaan Universal (Universal Precautions).
3.    Penularan dari Ibu ke Anak
HIV dapat ditularkan ke anak selama masa kehamilan, pada proses persalinan, dan saat menyusui. Pada umumnya, terdapat 15-30% risiko penularan dari ibu ke anak sebelum dan sesudah kelahiran. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi risiko infeksi, khususnya jumlah virus (viral load) dari ibu pada saat kelahiran (semakin tinggi jumlah virus, semakin tinggi pula risikonya.). Penularan dari ibu ke anak setelah kelahiran dapat juga terjadi melalui pemberian air susu ibu.
4.    Penularan melalui transfusi darah
Kemungkinan risiko terjangkit HIV melalui transfusi darah dan produk- produk darah yang terkontaminasi ternyata lebih tinggi (lebih dari 90%). Kendatipun demikian, penerapan standar keamanan darah menjamin penyediaan darah dan produk- produk darah yang aman, memadai dan berkualitas baik bagi semua pasien yang memerlukan transfusi. Keamanan darah meliputi skrining atas semua darah yang didonorkan guna mengecek HIV dan patogen lain yang dibawa darah, serta pemilihan donor yang cocok.

Biasakan mempunyai sikat gigi dan pisau cukur sendiri, karena selain untuk kebersihan pribadi, jika terdapat darah akan ada risiko penularan dengan virus lain yang diangkut aliran darah (seperti hepatitis), bukan hanya HIV. Virus HIV tidak menular melalui, Bersalaman, berpelukan, Berciuman, Batuk, bersin, Memakai peralatan rumah tangga seperti alat makan, telepon, kamar mandi, WC, kamar tidur, Gigitan nyamuk Bekerja, bersekolah, berkendaraan bersama, Memakai fasilitas umum misalnya kolam renang, WC umum, sauna. HIV tidak dapat menular melalui udara. Virus ini juga cepat mati jika berada di luar tubuh. Virus ini dapat dibunuh jika cairan tubuh yang mengandungnya dibersihkan dengan cairan pemutih (bleach) seperti Bayclin atau Chlorox, atau dengan sabun dan air. HIV tidak dapat diserap oleh kulit yang tidak luka (Soekidjo, 2003).

2.2.5 Manifestasi Penyakit Pada Rongga Mulut
2.2.5.1 Infeksi Bakteri Oral
  1. Gingivitis Ulseratif Akut yang Nekrosis (ANUG)
ANUG adalah umum pada pasien HIV. Ditandai oleh gusi yang mendadak sakit, merah padam, bengkak, berdarah dan bau mulut. Papila-papila interdental tampak hilang , berulserasi, tertutup oleh kulit nekrotik keabu-aabuan.
  1. Gingivitis HIV
Ditandai oleh eritema gusi kronis yang terjadi setara pada maksila dan mandibula, biarpun tidak ada faktor lokal yang jelas. Pada awalnya timbu; petechiae multifokal yang kecil, merah,brebentuk titik-titik pada gusi yang cekat.
  1. Periodontitis HIV
Adalah proses kerusakan yang snagat cepat, yang mengakibatkan hilanngya kecekatan periodontal dalam beberapa hari saja. Pada awalnya terjadi pada periodontal anterior lalu menjalar ke osterior. Infeksi bakteri ini ditandai oleh sakit dan perdarahan gusi spontan, edema gusi yang berat, resesi gusi yang cepat, penyembuhan luka terlambat  dna penyebaran ke mukosa sekitarnya. (Puspita, 2012)
2.2.5.2 Infeksi Jamur Oral
  1. Kandidiasis eritematosa
Memberikan gambaran lesi kemerahan, pipih,lesi dibagian dorsal lidah dan atau di daerah palatum durum atau palatum  molle. Pasien datang dengan keluhan rasa terbakar di mulutseperti saat makan makanan yang asin atau berbumbu
  1. Kandidiasis pseudomembranosa
Memberikan gambaran plak lunak berwarna putih pada daerah mukosa bukal , lidah, dan permukaanmukosa mulut lainnya, dapat diangkat, meninggalkan dasar kemerahanatau berdarah.
  1. Hiperplastik atau kandidiasis kronis
Memberikan gambaran plak putihyang tidak dapat diangkat di seluruh permukaan mukosa.(Puspita, 2012)
2.2.5.3 Infeksi Virus Oral
Virus Herpes (herpes simpleks, varicella zoster, sitomegalovirus dan eipstein Barr), terdapat dalam jumlah besar di dalam penyakit mulut yang diderita pasien AIDS.
  1. Infeksi HSV
Biasanya terlihat pada bibir sebagai herpes labialis atau dalam mulut pada epitel berkeratin sebagai herpes intraoral  kambuhan. Infeksi kambuhan membentuk vesikel-vesikel bulat kecil yang timbul dengan  cepat, meninggalkan ulkus kuning dangkal yang dikelilingi oleh lingkaran merah.
  1. Kontak denganvirus varicella zoster (VZV)
Dapat menyebabkan varicella (cacar air)sebagai infeksi primer dan herpes zoster sebagai infeksi yang diaktifkankembali. Dalam infeksi HIV, herpes zoster sering menunjukkan keterlibatan nervus cranialis dini dan membawa prognosis yangburuk. Menimbulkan vesikel multipel yang umumnya terletak pada batang tubuh atau wajah yang biasanya sembuh sendiri dan unilateral.
  1. Sitomegalovirus
Mendekati 100% pada pria homoseksual HIV-positif dan mendekati 10% pada anak-anak dengan AIDS. Virus tersebut memiliki predileksi intuk jaringan jelenjar saliva dan HIV meliputi pembengkakakn kelenjar parotis unilateral dan bilateral serta serostomia.
  1.  Oral Hairy Leukoplakia
Lesinya terlihat pada permukaanlateral lidah, tetapi bisa meluas ke dorsal dan permukaan ventral. Lesi bisa berbagai ukuran dan bisa terlihat seperti striae putih vertical,berombak-ombak atau seperti plak-plak berbulu kasar dengan proyeksi rambut terlihat seperti keratin.
  1.  Timbulnya Kaposi’s Sarkoma
Lesi ini muncul pada mukosa rongga mulut terutama pada mukosa palatal dan gingival. Dalam infeksi HIV, lesi ini lebih sering ditemukan pada pria.
Sarkoma Kaposi berupa makula berwarna merah-keunguan pada mukosa mulut, tidak sakit,tidak memucat saat dipalpasi. Lesi ini berkembang menjadi nodul dan membingungkan antara kelainan pada mulut yang berhubungan dengan vaskularisasi seperti hemangioma, hematoma, varicosity, dan pyogenic granuloma (jika terjadi pada gingiva). (Puspita, 2012)
2.2.6 Penatalaksanaan Penderita HIV/AIDS
Pemeriksaan HIV yang pertama adalah pemeriksaan antibody HIV, bertujuan untuk mendeteksi dan mengukur kadar immunoglobulin ( IgG tipe 1-4, IgA, IgM, IgD ). Sebagai respon terhadap adanya HIV dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
1.      Enzim linked immunosorbent assay ( Elisa ), hasil positif berarti terjadi ikatan antigen dan antibody HIV pada serum dan berarti anti-HIV positif.
2.      Anti HIV immunoblot / wastern blot
3.      Merupakan pemeriksaan konfirmatif setelah elisa dinyatakan positif
4.      Anti EnV dan anti core setelah elisa
5.      Perubahan / reaksi warna dan intensitasnya pada proses pemeriksaan berkaitan dengan keberadaan anti HIV dalam serum
6.      Polymerase chain reaction ( PCR ) mendeteksi fragmen DNA dan RNA vital yang spesifik pada orang yang terinfeksi hiv
7.      Rapid antibody test Immunoassays kualitatif yang bertujuan untuk sebagai titik uji perawatan untuk membantu dalam diagnosis infeksi HIV
8.      Ora quick advance rapid HIVe ½ antibody test merupakan immunoassay sekali pakai untuk mendeteksi anti body HIV virus type 1 dan 2 pada cairan rongga mulut.

Selain pemeriksaan terdapat juga pengobatan HIV/AIDS yaitu dengan Terapi Antiretroviral (ARV). Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih baik. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleosidereverse transcriptase inhibitor ,nucleotide reverse transcriptase inhibitor, nonnucleside reverse transcriptase inhibitor , dan inhibitor protease. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksamakarena obat ARV akandiberikan dalam jangka panjang. Obat ARVdirekomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yangtermasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200sel/mm3. Pasienasimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350sel/mm3danviral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasiendengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000kopi/ml. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalahkombinasi dari 3 obat ARV.
Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yangumumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi Zidovudin/Lamivudin,dengan Nevirapin. Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yangmengandung virus HIV (postex posure prophilaxys) dan pencegahan penularandari ibu ke bayi. (Sudoyo, 2006).
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang Untuk Diagnosa HIV/AIDS
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV dibagi dalam dua kelompok yaitu(Mariam,2010), :
  1. Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining,  meliputi  enzyme immunoassays atau enzyme –linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tesserologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau  indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil reaktif dari test krining.
Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+dan CD8+T-limfosit absolute.Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.
a.       Deteksiantibodi HIV
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan  Western Blot atau IFA (Indirect Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negative tidak memerlukan tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela (window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan ujivirologi pada tanggal berikutnya.Hasil negative palsu dapat terjadi pada orang-orang yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibody melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda  klinik dan gejala dari sindrom retroviral yang  akut. Positif palsu dapat terjadi pada individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan  transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibody anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak dianggap mengidap HIV-1. 
b.      Rapid test
Merupakan tesserologik yang cepat untuk mendeteksi Ig Gantibodi terhadap HIV-1.Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imuno filtrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
c.       Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi  rapidtes sebagai hasil  yang benar-benar positif. Uji  Western blot menemukan keberadaan antibodi  yang melawan protein HIV-1 spesifik (strukturaldanenzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang  (ELISA atau  rapid tes). Hasilnegative  Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau  rapid tes dinyatakan sebagai hasi lpositif palsu dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil  Western blot positif menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.
d.      Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji  Western blot. Antibodi Ig di label dengan penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jikaberadapadasampel. Jika slide menunjukkan fluoresensitoplasma dianggap hasil positif (reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
e.       Penurunan sistem imun
Progresiinfeksi HIV ditandai dengan penurunan  CD4+T limfosit, sebagian besarsel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu kewaktu rata-rata 100 sel/tahun.
2.      Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam nukleat /  nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti  DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24)) (Read, 2007).
a.       Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas  reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus (Read, 2007).
b.      Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi anti-p24  (Read, 2007).
c.       Tes Viral Load
Tes viral load adalah tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah. Ada beberapa cara untuk melakukan tes ini (Yayasan Spiritia, 2013):
                                       ·      Metode PCR (polymerase chain reaction) memakai suatu enzim untuk menggandakan HIV dalam contoh darah. Kemudian reaksi kimia menandai virus. Penanda diukur dan dipakai untuk menghitung jumlah virus. Tes jenis ini dibuat oleh Roche dan Abbott.
                                       ·      Metode bDNA (branched DNA) menggabungkan bahan yang menimbulkan cahaya dengan contoh darah. Bahan ini mengikat pada bibit HIV. Jumlah cahaya diukur dan dijadikan jumlah virus. Tes jenis ini dibuat oleh Bayer.
                                       ·      Metode NASBA (nucleic acid sequence based amplification) menggandakan protein virus agar dapat dihitung. Tes jenis ini dibuat oleh bioMerieux.
Masing-masing tes menunjukkan hasil yang berbeda untuk contoh yang sama. Karena hasil tes berbeda, kita sebaiknya tetap memakai jenis tes yang sama untuk memantau kecenderungan viral load. Catatan: Tampaknya semua tes viral load di Indonesia memakai metode PCR(Yayasan Spiritia, 2013).

2.2.8 Pencegahan Penularan AIDS Untuk Dokter Gigi
Membayangkan jadi dokter gigi itu berbahaya,untuk itu kita harus berhati-hati apalagi dengan AIDS. Setelah gejala klinis dimulut diketahui, maka perlu diambil upaya pencegahan penyebaran penyakit ini melalui praktek  dokter gigi, sebab ketakutan terkena infeksi AIDS telah melanda kalangan dokter gigi, pasien maupun perawat gigi. Sampai sekarang upaya pencegahan kontaminasi atau penularan infeksi HIV pada praktek dokter gigi masih dilakukan seperti upaya pencegahan infeksi silang lainnya.  Pada dasarnya tindakan pencegahan harus mencakup lima komponen penting yaitu penjaringan pasien, perlindungan diri, dekontaminasi peralatan, desinfeksi permukaaan lingkaran kerja dan penanganan limbah kllinik (Trijatmo,1992).
1.      Penjaringan Pasien
Dalam hal ini harus disadari bahwa tidak semua pasien dengan penyakit infeksi dapat terjaring dengan rekam medik sehingga system penjaringan pasien tidak menjamin sepenuhnya pencegahan penularan penyakit. Konsep Universal precaution pertama kali dianjurkan oleh Centers For disease Control (CDC) pada tahun 1987 yaitu mempermalukan semua pasien seolah-olah mereka terinfeksi HIV.
2.      Perlindungan diri
Perlindungan diri meliputi cuci tangan, pemakaian sarung tangan, cadar, kaca mata, dan mantel kerja. Prosedur cuci tangan dilakukan dengan sabun antiseptik di bawah air mengalir. Persyaratan yang harus dipenuhi sarung tangan adalah bdasar tidak mengiritasi tangan, tahan bocor, dan memberikan kepekaan yang tinggi bagi pemakainya. Cadar berfungsi untuk melindungi mukosa hidung dan kontaminasi percikan saliva dan darah pada mata karena conjunctiva mata merupakan salah satu port entry sebagian besar infeksi virus. Sedangkan mantel kerja dianjurkan digunakan sewaktu melayani pasien yang setiap saat terkancing baik.
3.      Dekontaminasi Peralatan
Dekontaminasi adalah suatu istilah umum yang meliputi segala metode pembersihan, desenfeksi dan sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangkan pencemaran mikroorganisme yang melekat pada peralatan medis sedemikian rupa sehingga tidak berbahaya. Metode dekontaminasi yang utama adalah penguapan dibawah tekana (autklav), pemanasan kering (oven udara panas), air mendidih dan desinfektan kimia dengan menggunakan hipoklorit atau glutaraldehid 2%.
4.      Desinfeksi permukaan lingkungan kerja
permukaan yang dijamah oleh tangan operator harus disterilkan (misalnya instrumen) atau desinfeksi (misalnya meja kerja, kaca pengaduk, tombol-tombol atau pegangan laci dan lampu). Meja kerja, tombol-tombol, selang as[pirator, tabung, botol material dan pegangan lampu unit harus diulas dengan klorheksidin 0,5% dalam alcohol atau hipoklorit 1000 bagian perjuta (bpj) dari klorida yang tersedia, dalam setiap sesi atau setiap pergantian pasien. Piston harus dicuci dan debris dari pelastik penyaring dibersihkan setiap selesai satu pasien. Selang aspirator sebaiknya memakai yang sekali pakai. Bila ada noda darah, cairan tubuh atau nanah, permukaan harus didesinfeksidengan larutan hipoklorit yang mengandung 10.000 bjp dari klorida yang tersedia dan kemudian dibersihkan dengan lap sekali pakai. Larutan harus dibiarkan pada permukaan yang akan dibersihkan minimal selama tiga menit, kemudian larutan tersebut dilap, serta permukaan permukaan tersebut dibilas dan dikeringkan.  Posisi operator tertentu didalam melakukan tindakan perawatan gigi, juga mempunyai rwesiko kontaminasi dari mulut pasien ke operator. Penelitian di Universitas Bologna, Itali membuktikan bahwa resiko terbesar bagi operator bila ia bekerja pada posisi kanan penderita diposisi jam 9 (Trijatmo,1992).
5.      Penanganan limbah klinik
Yang dimaksud dengan limbah klinik adlah semua bahan yang menular atau kemungkinan besar menular atau zat-zat yang berbahaya yang berasal dari lingkungan kedokteran dan kedokteran gigi. Sampah ini dikumpulkan untuk dibakar, atau ditanam untuk jenis tertentiu. Limbah klinik seperti jarum dikumpulkan didalam wadah plastik berwarna kuninguntuk dibakar dan jenis limbah tertentu dikumpulkan untuk ditanam. Sebaiknya jarum suntik disposible setelah dipakai langsung dibuang dalam wadah tanpa memasang kembali penutup jarum, hal ini untuk menghindari tertusuknya tangan oleh jarum tersebut. imbah darah, adalah yang paling potensial mengandung HIV, maka bila ada limbah darah misalnya kapas dengan darah, ekstraksi jaringan atau gigi jatuh ke lantai ambillah limbah tersebut dengan mengggunakan sarung tangan, dibersihkan dengan lap atau tissue kertas kemudian lap atau tissuedan daerah tumpahan dituangkan larutan hipoklorit 10.000 bpj. Setelah 10 menit atau lebih, bilas tempat tersebut (Trijatmo,1992).

2.3 Sarcoma Kaposis
2.3.1 Definisi Sarcoma Kaposis
sarkoma kaposi ( SK ) adalah tumor yang disebabkan oleh virus bernama human herpesvirus 8 ( HHV8 ) dan biasa disebut dengan istilah sarkoma kaposi – dikaitkan dengan herpesvirus  ( KSHV ). (Puspita, 2012)
2.3.2 Etiologi dan Patogenesis Sarcoma Kaposis
Pada beberapa dekade sebelumnya dapat dilihat dari epidemiologi yang ada dan pemeriksaan mikroskopik yang pernah dilakukan yang menjelaskan etiologi dari sarkoma kaposi. Sejak tahun 1994 ketika Chang dan rekan – rekannya menemukan DNA dari sebuah virus pada lesi dari sarkoma kaposi yang belum diketahui jenisnya. Penemuan ini lalu diklon, diisolasi dan diteliti dan ternyata virus tersebut merupakan sebuah virus herpes pada manusia yang sekarang dikenal dengan sarkoma kaposi – terkait dengan herpesvirus ( KSHV ) atau family human herpes virus 8 ( HHV8 ).
            HHV8 ini adalah bagian dari family ɤ - herpesviridae, genus rhadinovirus. Terdiri dari 165-kb DNA genom yang menunjukkan 90 bentuk terbuka. HHV8 ini dikontrol oleh LANA-1, V cyclin dan vFLIP atau replikasi virus lytic yang dikenal vGPCR, vIL6 dan v-bcl-2. HHV8 ini masuk ke pejamu secara in vivo dan in vitro. Pada pemeriksaan darah dan sel endothelial limfatik menyerupai sel hemopoetic dengan tipe yang berbeda.
            Transmisi HHV8 tidak diketahui pasti. Namun angka terbesar dari sarkoma kaposi ini pada pria homoseksual dan biseksual. Perkembangan tumor ini berhubungan dengan aktivitas seksual yang terjadi. Hal inilah yang menjadi alasan terhadap pernyataan yang ada bahwa transmisi dari HHV8 tinggi melalui hubungan seksual, termasuk oral dan anal seks. Virus ini paling banyak menyebar di Mediterania dan Afrika. Transmisi nonseksual bisa melalui air liur khususnya di daerah endemik. Untuk tenaga medis perlu diketahui bahwa virus ini bertransmisi melalui kontak darah termasuk pada kasus tranplantasi organ. Patogenesis dari HHV8 pada sarkoma kaposi yang ditemukan antara lain :
1. Genom dari HHV8 dideteksi pada lesi sarkoma kaposi di semua stadium dari semua varian yang ada.
2. Pada lesi sarkoma kaposi, HHV8 terdapat pada semua sel tumor.
3. Tumor sel sarkoma kaposi ini menunjukkan integrasi monoclonal dari virus DNA.
            Di area dengan insidensi rendah seperti Amerika Serikat dan Eropa Utara, infeksi HHV8 sangat jarang ( dibawah 0,1% ). Namun, di daerah insidensi tinggi seperti Italia Selatan, prevalensi dari HHV8 mencapai 20%. Dan prevalensi tertinggi di daerah Afrika Tengah yaitu 22 – 71% pada orang dewasanya yang menjadikan daerah tersebut merupakan endemik dari sarkoma kaposi. Pada pasien dengan transplantasi organ ( khususnya pada resipien ), manifestasi penyakit mulai terlihat 1 – 2 tahun setelah transplant dan pada pasien dengan HIV-1 menderita sarkoma kaposi pada 5 – 10 tahun setelah terinfeksi. (Puspita,2012)

2.3.3 Gejala Klinis Sarcoma Kaposis
Pada mulut, sarkoma kaposi berperan sebesar 30%, dan merupakan 15% awal dari sarkoma kaposi yang berhubungan dengan AIDS. Pada mulut, sarkoma kaposi paling sering menyerang langit-langit keras, diikuti oleh gusi. Lesi pada mulut mudah rusak dengan digigit dan berdarah atau menderita infeksi sekunder, dan bahkan mengganggu penderita untuk makan dan berbicara. (Puspita,2012)
2.4 Dampak Defisiensi Gizi Terhadap Rongga Mulut
Kurangnya konsumsi makanan bergizi dapat menyebabkan terjadinya defisiensi zat gizi. Defisiensi zat gizi ini akan menimbulkan gejala pada tubuh bila berlangsung lama dan bersifat kronis. Gejala pada tubuh antara lain dapat terjadi di dalam rongga mulut. Biasanya yang bermanifestasi pada rongga mulut adalah defisiensi mineral, protein, dan vitamin (Deritana,2007).
2.4.1 Defisiensi Mineral
Defisiensi mineral yang bermanifestasi dalam rongga mulut adalah defisiensi kalsium, fosfor, magnesium, besi dan flour.
a)      Defisiensi kalsium
Manifestasi defisiensi kalsium dalam rongga mulut adalah terjadi absorpsi tulang rahang yang merata dan destruksi ligamentum periodontal dan berkurangnya kekuatan gigi.
b)      Defisiensi fosfor
Manifestasi defisiensi fosfor dalam rongga mulut adalah terjadinya gangguan pertumbuhan rahang dan erupsi gigi. Juga adanya pertumbuhan kondili yang lambat disertai maloklusi.
c)      Defisiensi magnesium
Defisiensi magnesium dalam jangka waktu yang lama dapat terjadi hipoplasia enamel.
d)     Defisiensi besi
Manifestasi defisiensi besi dalam rongga mulut adalah terjadinya glossitis yang merupakan penyakit pada lidah, di mana lidah tampak merah dan sakit.
e)      Defisiensi flour
Manifestasi  Defisiensi flour dalam rongga mulut yang paling utama adalah kerentakan gigi terhadap terjadinya karies gigi. (Deritana, 2007)

2.4.2 Defisiensi Protein
Protein banyak terdapat pada daging, telur, susu, ikan dan jagung. Manifestasi defisiensi protein dalam rongga mulut adalah lidah tampak berwarna merah karena hilangnya papila, terjadi angular cheilitis dan fissura bibir atau bibir pecah-pecah. Selain itu rongga mulut terasa kering dan nampak kotor. Resistensi terhadap infeksi mengalami penurunan sehingga mudah terjadi infeksi pada jaringan periodontal (Deritana, 2007).
2.4.3 Defisiensi Vitamin
a)      Defisiensi vitamin A
Defisiensi vitamin A menyebabkan terjadinya gingivitis, hiperplasia gingiva serta penyakit periodontal dan hipoplasia enamel.
b)      Defisiensi vitamin D
Defisiensi vitamin D menyebabkan terjadinya hipoplasia enamel yang melibatkan gigi insisivus dan molar permanen yang umumnya terdapat pada penderita rhiketsia.
c)      Defisiensi vitamin E
Defisiensi vitamin E menyebabkan terjadinya pendarahan gingival, keluarnya pus dari poket dan penyakit periodontal serta leukoplakia.
d)     Defisiensi vitamin K
Defisiensi vitamin K menyebabkan terjadinya pendarahan spontan pada gingival atau setelah menggosok gigi.
e)      Defisiensi vitamin C
Defisiensi vitamin C menyebabkan rentannya gingival terhadap iritasi lokal sehingga terjadi hiperplasia gingival, mudah berdarah dan dapat terjadi ulserasi yang biasa disebut Scurvy.
f)       Defisiensi vitamin B kompleks
- Tiamin ( B 1 )
Defisiensi Tiamin menyebabkan terjadinya pembesaran papila fungiformis pada perifer lidah, adanya retakan pada bibir dan sensitifitaspada gigi dan mukosa mulut meningkat.
- Ribofavin (  B 2 )
Defisiensi ribofavin menyebabkan terjadinya angular cheilitis dan atrofi papilla fungiformis.
- Asam nikotinat ( B 5 )
Defisiensi Asam Nikotinat menyebabkan terjadinya atrofi papilla di mana lidah tampak merah, gingivitis kronis dan periodontitis.
- Peridoksin ( B 6 )
Defisiensi Peridoksin menyebabkan terjadinya angular cheilitis, glossis, serta rasa tidak enak pada mulut.
- Asam Pentotenat
Defisiensi Asam Pentotenat menyebabkan terjadinya angular cheilitis, ulserasi, dan nekrosis pada gingiva. Terlihat juga mukosa mulut dan bibir warna merah mengkilat.
- Asam Folat
Manifestasi defisiensinya adalah pembengkakan pada lidah, gingivitis, angular cheilitis dan ulkus pada lidah.
- Sianokobalamin ( B 12 )
Manifestasi defisiensinya adalah gingival nampak pucat dan mudah terjadi ulserasi. Lidah tampak merah licin dan mengkilat serta lebih sensitif ( glositis hurteri ). (Deritana, 2007)

2.5 Dampak Faktor Lingkungan Pada Penyakit Gigi dan Mulut
Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
a.       Kadar fuor dalam air
Pada daerah dengan kandungan fluor yang cukup dalam air minum (0,7 ppm- 1 ppm) prevalensi karies rendah. Bila fluor diberikan sejak dini, sehingga enamel akan banyak menyerap fluor, sehingga akan memberikan efek besar terhadap pencegahan karies (Suwelo, 1992)
b.      Pendidikan
Tujuan:
1.      Meningkatkan kesadaran dan pengertian masyarakat tentang penting memelihara kesehatan gigi dan mulut
2.      Meningkatkan atau paling sedikit mengurangi penyakit gigi dan mulut dan gangguan lain pada gigi dan mulut. (Ahmadi, 2001)
  1. Pekerjaan
Jenis pekerjaan dapat berperan dalam timbulnya penyakit dari faktor-faktor yang langsung dapat menimbulkan kesakitan terutama pada benda-benda fisik yang dapat menimbulkan penyakit (Notoadmodjo 2003)
  1. Penghasilan
Penghasilan dan prevalensi karies mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dikarenakan seseorang akan kurang memanfaatkan pelayanan yang ada karena mungkin tidak mempunyai uang untuk membeli obat, membayar transport dan sebagainya (Suwelo, 1992)

2.6 Dampak Penyakit Gigi dan Mulut yang Menyebar Keorang Lain
1.      Faringitis yang ditularkan secara seksual
Faringitis adalah peradangan bagian belakang tenggorok yang sering kali disebabkan oleh infeksi. Organisme veneral, seperti virus herpes simpleks (SV) tipe 2, Neisseria gonorrhoeae, dan Chlamydia trachomatis, dapat menyebabkan faringitis melalui penularan dari kontak langsung dengan sekresi atau lesi genital atau oral yang terinfeksi. Infeksi ini terjadi paling sering pada orang yang aktif kegiatan seksnya, berusia 15-35 tahun. Jika infeksi HSV-2 primer menimbulkan manifestasi pada rongga mulut, akan terjadi peradangan faring dan tonsil, demam, serta peradangan gingiva yang lebih ringan dibandingkan disebabkan oleh infeksi virus HSV-1 primer. Beberapa vesikel kecil biasanya muncul pada tahap awal; vesikel ini akan pecah dan membentuk ulser yang sembuh dalam 10-21 hari. Obat antijamur yang diberikan selama beberapa hari pertama ditemukan gambaran klinis merupakan cara perawatan pilihan. (Sudoyo, 2006)
2.      Mononukleosis Infeksiosa
Mononukleosis infeksiosa adalah infeksi virus akut yang ditandai oleh lelah, demam, nyeri tenggorok, pembengkakan nodus limfatik, stomatitis, dan kadang-kadang hepatosplenomegali. Lesi paling sering disebabkan oleh oleh virus Epstein-Barr dan terjadi terutama pada remaja dan dewasa muda. Penyakit ini tingkat penularannya rendah serta penyebarannya adalah melalui pertukaran saliva yang terkontaminasi virus selama ciuman dalam atau pemakaian sedotan minuman bersama-sama. Lesi rongga mulut sering kali merupakan manifestasi paling dini dari mononucleosis infeksiosa. Beberapa petekiae bewarna merah yang terletak di pertemuan palatum keras dan lunak terjadi selama beberapa minggu pertama infeksi. Lesi ini akan berubah menjadi coklat dan menghilang setelah beberapa hari. Sewaktu kondisi ini berkembang, lelah, eksudatif tonsillitis, dan limfadenopati servikal posterior, yang sakit dan bilateral, merupakan temuan yang mencolok. Kadang-kadang pasien mengalami ruam, batuk, gingivitis ulserative necrotika (NUG), atau ulser faring. Analisis darah darah akan menunjukkan adanya limfositosis sedang, limfosit atipikal, antibody heterofil, dan kadar transamin yang sedikit meningkat. Perawatannya bersifat suportif dan mencakup bed-rest, diet lunak, analgesic, serta antipirerik. Pemulihan biasanya terjadi dalam1-2 bulan. (Sudoyo, 2006)
3.      Sifilis
Sifilis adalah penyakit kelamin yang disebakan oleh Treponema palladium, suatu spirochete anaerob. Tanda utama dari sifilis rongga mulut adalah chancre yang tidak sakit, yang mewakili reaksi granulomatosis terhadap sumbatan vascular. Chancre dapat terjadi pada jaraingan lunak rongga mulut manapun. Namun, bibir adalah daerah yang paling sering terserang, diikuti dengan lidah, palatum, gingiva, dan tonsil. Sifilis oral lebih sering terlihat pada pria muda yang aktif secara seksual.
Chancre sifilis pada awalnya tampak sebagai papula soliter kecil yang menonjol, membesar, menimbulkan erosi, dan ulserasi. Lesi ini biasanya menonjol, ada indurasi, dan berdiameter 2-3 cm, namun kurang mempunyai tepi merah yang meradang. Permukaannya ditutupi cairan serosa kekuningan dan sangat menular.eritema palatal atau ulser kemerahan yang tidak bergejala dapat merupakan lesi awal, bersama dengan nodus limfatik servikal bagian anterior yang membengkak, keras, dan tidak nyeri.
Chancre umumnya berlangsung selama 2-4 minggu dan sembuh secara spontan, menyebabkan pasien keliru menganggap bahwa  dia tidak membutuhkan pengobatan. Setelah periode laten selama 4 minggu sampai 6 bulan, akan muncul tahap sifilis sekunder. Selama tahap ini, pasien akan mengalami sakit kepala, sobeknya selaput mata, rembesan cairan hidung, nyeri tenggorok, sakit sendi menyeluruh, pembesaran nodus limfatik, kenaikan suhu badan, dan penurunan berat badan. Ruam makulopapular yang simetris dan tidak sakit akan muncul pada kulit telapak tangan dan segera diikuti dengan lesi pada bagian bawah kaki. Kelompok lesi oral dari sifilis sekunder akan tampak sebagai macula yang berbentuk oval dan bewarna merah, faringitis, atau bercak mukosa multiple atau terisolir. Sifilis tersier muncul pada orang yang terinfeksi, beberapa tahun setelah tahap sifilis sekunder yang tidak diobati. Lesi terutama ditandai dengan perforasi palatum dan gejala neurologis. Penisilin G secara parenteral masih tetap merupakan obat pilihan untuk melawan sifilis pada semua tahapan. (Sudoyo, 2006)
 BAB IV
PEMBAHASAN
Penyakit autoimun adalah gangguan yang menyerang sistem imun atau sistem kekebalan tubuh seseorang . salah satunya adalah AIDS. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu sekumpulan gejala yang didapatkan dari penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan system imun yang disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sebagaimana kita ketahui bahwa sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit, tubuh kita lemah dan tidak berupaya melawan jangkitan penyakit dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa. Manusia yang terkena virus HIV, tidak langsung menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan. pada tahun 1982, CD–USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untuk pertama kali membuat definisi AIDS. Sejak saat itulah survailans AIDS dimulai. Dan juga ditemukan penyebab kelainan ini adalah LAV (Lymphadenophaty Associaterd Virus ) oleh Luc Montagnier dari pasteur Institut, Paris.
AIDS akan menimbulkan banyak manifestasi dalam jaringan tubuh diantaranya yaitu manifestasi pada oral. Dikarenakan AIDS menyebabkan sistem imun menurun infeksi pada daerah oral juga meningkat. Infeksi ini disebabkan oleh mikroorganisme jenis fungi, bakteri dan virus. Manifestasi yang disebabkan oleh jamur adalah kandidiasis oral yang ditimbulkan oleh jamur candida albican. Sedangkan penyakit karena bakteri adalah berbagai macam radang diantaranya adalah periodontitis dan gingivitis. Untuk manifestasi yang ditimbulkan oleh virus diantaranya ada herpes simpleks, hairy leukoplakia, serta sarkoma kaposi yang disebabkan oleh virus HHV8. Negara-negara berkembang terkadang kekurangan fasilitas laboratorium yang memadai untuk pemeriksaan histologis atau diagnosis kultur bagi penyakit-penyakit indikator spesifik. WHO merubah definisi kasus AIDS yang dirumuskan di Afrika untuk digunakan dinegara berkembang pada tahun 1994 : yaitu dengan menggabungkan tes serologi HIV, jika tersedia, dan termasuk beberapa penyakit indikator sebagai pelengkap diagnostik bagi mereka yang seropositip.
Masa inkubasi Bervariasi. Walaupun waktu dari penularan hingga berkembang atau terdeteksinya antibodi, biasanya 1 – 3 bulan, namun waktu dari tertular HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS sekitar < 1 tahun hingga 15 tahun atau lebih. Tanpa pengobatan anti-HIV yang efektif, sekitar 50 % dari orang dewasa yang terinfeksi akan terkena AIDS dalam 10 tahun sesudah terinfeksi. Median masa inkubasi pada anak-anak yang terinfeksi lebih pendek dari orang dewasa. Bertambahnya ketersediaan terapi anti-HIV sejak pertengahan tahun 90 an mengurangi perkembangan AIDS di AS dan di banyak negara berkembang secara bermakna.
Terapi obat anti retroviral untuk pasien HIV hanya diberikan ketika sistem kekebalan tubuh mereka sudah melemah akibat infeksi. Dalam sebuah percobaan, yang dimuat dalam New England Journal of Medicine, menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan setahun setelah diagnosa membantu menjaga sistem kekebalan dan membuat virus dapat dipantau. Para peneliti menyakini bahwa perawatan yang dilakukan sejak awal dapat mengurangi penyebaran HIV. Virus tidak lagi menjadi 'vonis mati' bagi pasien yang mendapatkan perawatan tepat dan pengobatan. Perawatan yang diberikan ketika sel CD 4, yang merupakan bagian dari sistem kekebalan, turun dibawah 350 sel per milimeter kubik di dalam darah. Bagaimanapun, berbagai spekulasi muncul bahwa pengobatan lebih awal setelah pasien didiagnosa kemungkinan akan memberikan manfaat yang lebih banyak. Dalam studi The Spartac untuk mengetes teori itu, dengan melibatkan 366 pasien dari delapan negara di seluruh dunia. Sejumlah pasien diberikan obat selama 12 pekan setelah didiagnosa, sementara kelompok lain diberikan obat setelah 48 pekan didiagnosa dan sebuah kelompok ketiga tidak mengkonsumsi obat sampai sel CD 4 mereka mencapai level 350. Prof Jonathan Weber, dari Imperial College London, mengatakan mereka yang mendapatkan pengobatan setelah 48 pekan didiagnosa memiliki tingkat sel CD 4 dan lebih rendah terpapar virus.
 DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, 2001. Karies dan Penanggulangannya. Jakarta.EGC
Alimudiarnis. 2009. Sindrom Sjogren. Sumatera Barat: Fakultas Kedokteran Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Andalas
Deritana N, Kombong A.2007. Gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan.
J.WATCH Jayawijaya.
Fatmah. 2006. Respon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut.
Jakarta: Jurnal Universitas  Indonesia
Mariam, Siti. 2010. Laboratorium HIV. Universitas Indonesia
Notoadmojo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT Asdi Mahasatya.
Jakarta
Pengurus Besar IDI. 2000. Pencegahan Penyakit Menular. www.depkes.go.id/
index.php?option. Edit terakhir: 9 Juli 2008
Price, Richard. 2006. The Cellular Basis Of Central Nervous System HIV-1
Infection and The AIDS Dementia Complex. New York : The Haworth
Medical Press
Puspita, Meny. 2012. Oral Medicine Macam-macam Jenis Lesi &Penyakit
Rongga Mulut. Universitas Padjajaran
Sasongko, A.1996. Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Yayasan Kusuma
Buana, Jakarta. Copyright © 2006 UN Indonesia. All Rights Reserved
Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan


Sudoyo, Aru W,dkk. Buku Ilmu Ajar Penyakit Dalam. Fakultas KedokteranUniversitas
Indonesia. Jakarta. 2006
Sumariyono.2008. Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Sjogren. Kumpulan
Makalah TemuIlmiah Reumatologi. Hal: 134-136
Suwelo, 1992. Karies Gigi Pada Anak Dengan Berbagai Faktor Etiologi. Jakarta.   EGC
Trijatmo R, dkk.1992.Sindrome AIDS Penanggulangan Penyebarannya dalam
praktek dokter gigi. Jakarta: EGC,:1-54
Yayasan Spiritia. 2013. Tes Viral Load. . [internet] [cited 2014 Jan 29]. Avaliable
Yuliasih. 2006. Sindrom Sjogren Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
Pusat