Minggu, 22 September 2013

SISTEM URINARIA

3
 

 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Sistem Urinaria

2.1.1 Pengertian Sistem Urinaria
Sistem urinaria terdiri dari organ-organ yang memproduksi urin dan mengeluarkannya dari tubuh. Sistem  ini merupakan salah satu sistem utama untuk mempertahankan hemostatis (kekonstanan lingkungan internal) (Sloane, 2004).

2.1.2 Struktur Sistem Urinaria dan Fungsinya
2.1.2.1 Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal, dibelakang peritonium, dan karena itu di luar rongga peritoneum ( Sloane, 2004).
Kedudukan ginjal dapat diperkirakan dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebrata lumbalis ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki banyak ruang di sebelah kanan. Ginjal mempunyai fungsi diantaranya sebagai berikut:
1. Mengeluarkan sekret urin
2. Pengeluaran zat sisa organik
3. Pengaturan konsentrasi ion-ion penting
4. Pengaturan asam basa tubuh
5. Pengaturan produksi sel darah merah
6. Pengaturan tekanan darah
7. Pengeluaran zat beracun ( Sloane, 2004).



2.1.2.2 Ureter
Terdapat dua ureter berupa dua pipa saluran yang masing-masing bersambung dengan ginjal dan dari ginjal berjalan ke kandung kemih. Tebal setiap ureter kira-kira setebal tangkai bulu angsa dan panjangnya 35-40 cm. Terdiri atas dinding luar yang fibrous,lapisan tengah yang berotot dan lapisan mukosa sebelah dalam. Ureter mulai sebagai pelebaran hidung ginjal dan berjalan ke bawah melalui rongga abdomen masuk ke dalam pelvis dan dengan arah bolak-balik bermuara ke dalam sebelah posterior kandung kemih. Fungsi ureter adalah menyalurkan urin dari ginjal ke kandung kemih (Pearce C. Evelyn, 2011).

2.1.2.3 Kandung Kemih
Kandung kemih bekerja sebagai penampung urin, organ ini berbentuk buah pir (kendi). Letaknya di dalam panggul besar,di depan isi lainnya dan di belakang sinfisis kubis. Pada bayi letaknya lebih tinggi. Bagian terbawah terpancang erat dan disebut basis, bagian atas atau fundus naik kalau kandung memekar atau mengembang karena urin. Puncaknya atau apeks mengarah ke depan bawah dan ada di belakang sinfisis kubis (Pearce C. Evelyn, 2011).
Menurut Evelyn (2011), dinding kandung kemih terdiri atas:
1. Sebuah lapisan serus sebelah luar
2. Lapisan berotot
3.Lapisan sub mukosa
4. Lapisan mukosa dari epithelium transisional (peralihan).
Fungsi kandung kemih adalah untuk menampung urin yang disalurkan ureter dari ginjal (Pearce C. Evelyn, 2011).

2.2.2.4 Uretra
Uretra ialah sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kemih ke luar, dilapisi membran mukosa yang bersambung dengan membran yang melapisi kandung kemih. Meatus urinalis terdiri dari serabut otot lingkar, yang membentuk spinter uretra. Pada wanita panjang uretra adalah 2,5-3,5 cm. Dan pada pria 17-22 cm. Fungsi uretra adalah mengeluarkan urin dari kandung kemih  (Pearce C. Evelyn, 2011).

2.1.3 Pembentukan Urine
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah.
Ada 3 tahap pembentukkan urine, yaitu:
a.    Proses Filtrasi
Proses filtrasi terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar dari permukaan eferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dan lain-lain, kemudian diteruskan di tubulus ginjal (Sloane, 2004).
b.    Proses Reabsorpsi.
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat, dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsorbsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan dan sodium dan ion bikarbonat, bila diperlukan akan diserap kembali kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya terjadi secara aktif dikenal dengan reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis (Sloane, 2004).
c.    Proses Sekresi
Pada proses sekresi, sisa penyerapan kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan keluar (Sloane, 2004).

2.1.4 Gangguan Sistem Urinaria
1.    Sistitis, adalah  inflamasi kandung kemih. Inflamasi ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (biasanya Eschericia coli) yang menyebar dari uretra atau karena respon alergi atau akibat iritasi mekanis pada kandung kemih. Gejalanya adalah sering berkemih dan nyeri ( disuria) yang disertai darah dalam urin (hematuria).
2.    Glomerulonefritis adalah inflamfsi nefron, terutama pada glomerulus.
a.    Glomerulonefritis akut, seringkali terjadi akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu ( kelompok Streptococcus beta A).
b.    Glomerulonefritis kronik, tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus. Inflamasi ini mungkin diakibatkan infeksi Streptococcus, tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit sistemik lain atau karena glomerulonefritis akut.
3.    Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri. Inflamasi dapat berawal di traktus urinaria bawah ( kandung kemih) dan menyebar ke ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi traktus urinaria terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek kongenital yang memicu  terjadinya piolenefritis.
4.    Batu ginjal (kalkuli urinaria), terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersama urin, batu yan g lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri dan tajam ( kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan.
5.    Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya retensi garam, air, zat buangan nitrogen ( urea dan kreatinin) dan penurunan drastis volume urin (oliguria).
a.    Gagal ginjal akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berhasil diobati. Penyakit ini ditandai dengan oliguria mendadak yang diikuti dengan penghentian prokduksi urin (anuria) secara total. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah ke ginjal akibat trauma atau cedera, glomerulonefritis akut, hemoragi, transfusi darah yang tidak cocok atau dehidrasi  berat.
b.    Gagal ginajl kronik adalah kondisi progresif parah karena penyakit yang mengakibatkan kerusakan parenkim ginjal, seperti glomerulonefritis kronik atau pielonefritis, trauma, atau diabetes nefropati (penyakit ginjal akibat diabetes melitus). Penyakit ini diobati melalui hemodialisis atau transplantasi ginjal (Sloane, 2004).

2.1.5 Komposisi Urine
a.    Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari katabolisme asam nukleat, dan kreatin dari proses penguratan kreatin fosfat dalam jaringan otot.
b.    Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah.
c.    Badan keton yang dihasilkan dalam  metabolisme lemak adalah konstitusien normal dalam jumlah kecil.
d.   Elektrolit meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat, kalsium, dan magnesium.
e.    Hormon atau katabolit hormon ada secara normal dalam urin.
f.     Berbagai jenis taksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau enzim secara normal ditemukan dalam jumlah kecil.
g.    Konstituen abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah, sejumlah besar badan keton, zat kapur (terbentuk saat zat mengeras dalam  tubulus dan dikeluarkan), dan batu ginjal atau kalkuli (Sloane, 2004).




2.1.6 Sifat Fisik Urine
a.    Warna. Urine encer berwarna kuning pucat, dan kuning pekat jika kental. Urin segar biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan.
b.    Bau. Urin memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia jika didiamkan. Bau ini dapat bervariasi sesuai dengan diet, misalnya setelah makan asparagus. Pada diabetes yang tidak terkontrol, aseton  menghasilkan bau manis pada urin.
c.    Asiditas atau alkalinitas, pH  urin  bervariasi antara 4,8 sampai 7,5 dan biasanya sekitar 6,0 tetapi juga bergantung pada diet. Ingesti makanan yang berprotein tinggi akan meningkatkan asiditas, sementara diet sayuran meningkatkan alkalinitas.
d.   Berat jenis urin berkisar anatara 1,001- 1,035, bergantung pada konsentrasi urin (Sloane, 2004).

2.1.7 Syaraf yang Mempengaruhi Sistem Urinaria
Kandung kemih mendapat persyarafan utama dari syaraf-syaraf pelvis, yang berhubungan dengan medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan segmen S-2 dan S-3 dari medulla spinalis. Perjalanan melalui syaraf pelvis terdapat dalam 2 bentuk persyarafan yaitu serabut syaraf sensorik dan syaraf motorik. Serabut sensorik mendeteksi derajat regangan dalam dinding kandung kemih. Sinyal – sinyal regangan khususnya dari uretra posterior merupakan sinyal yang kuat dan terutama berperan untuk memicu refleks pengosongan kandung kemih (Guyton dan Hall, 2008).
Persyarafan motorik yang dibawa dalam syaraf-syaraf pelvis merupakan serabut parasimpatis. Syaraf ini berakhir di sel ganglion yang terletak di dalam dinding kandung kemih. Kemudian syaraf-syaraf  postganglionic yang pendek akan mempersyarafi otot detrusor (Guyton dan Hall, 2008).
Selain syaraf pelvis, terdapat dua jenis persyarafan lain yang penting untuk mengatur fungsi kandung kemih. Yang paling penting adalah serabut motorik skeletal yang dibawa melalui syaraf pudensus ke sfingter eksterna kandung kemih. Syaraf ini merupakan serabut syaraf somatik yang mempersyarafi dan mengatur otot rangka volunter pada sfinger tersebut. Kandung kemih juga mendapatkan persyarafan simpatis dari rangkaian simpatis melalui syaraf-syaraf hipogastrik, yang terutama berhubungan dengan segmen L-2 dari medulla spinalis. Serabut simpatis ini terutama merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap proses kontraksi kandung kemih. Beberapa serabut sayraf sensorik juga berjalan melalui persyarafan simpatis dan mungkin penting untuk sensasi rasa penuh dan nyeri (Guyton dan Hall, 2008).
ginjal 3

2.1.8 Hormon yang Mempengaruhi Sistem Urinaria
Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma dan konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh ginjal, dan tidak bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku utama dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretik (ADH), yang juga disebut vasopressin (Guyton dan Hall, 2008).
Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat diatas normal (yaitu zat terlarut dalam cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH, yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air. Keadaan ini memungkinkan terjadinya reabsorpsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume urin tetapi tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata (Guyton dan Hall, 2008).
Bila terdapat kelebihan air didalam tubuh dan osmolaritas cairan eksternal menurun, sekresi ADH oleh hipofisis posterior akan menurun oleh sebab itu, permeabilitas tubulis distal dan duktus kolegentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal (Guyton dan Hall, 2008).

2.2 Glomerulonefritis Akut  (GNA)

2.2.1 Pengertian Glomerulonefritis Akut (GNA)
Glomerulonefritis akut adalah suatu peradangan pada glomerulus yang menyebabkan hematuria (darah dalam air kemih), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein dalam air kemih) (Novita, 2009). Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A) (Sloane, 2004).

2.2.2 Mekanisme Terjadinya GNA
Glomerulonefritis akut dapat timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus. Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomerulus mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokakus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomerulus dan mempengaruhi fungsinya. Glomerulonefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi. Glomerulonefritis pasca streptokokus paling sering terjadi pada anak-anak diatas 3 tahun dan dewasa muda (Mansjoer, A., dkk., 1999).

2.2.3 Gangguan Sitem Imun (Autoimun)
Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak  invader yang membahayakan tubuh manusia. Sel imun terdapat dalam darah, khususnya di leukosit (Fatmah, 2006).
Bila sistem imun mengalami gangguan, akan menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh yang sehat. Gangguan  ini disebut gangguan atau penyakit autoimun. Gangguan autoimun adalah suatu  kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan menghancurkan  jaringan sehat. Pasien dengan gangguan autoimun, sistem kekebalannya tidak bisa membedakan antara jaringan tubuh yang sehat dan antigen. Hasilnya adalah resposn imun yang merusak jaringan tubuh normal. Ini adalah reaksi hipersensitivitas mirip dengan respon di alergi (Hermawan, 2010).
Pada kelainan glomerulus berupa glomerulonefritis akut menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam  mekanisme penyakit tersebut. Respon imun yang berlebihan dari sistem imun penjamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistem komplemen yang melepas substansi yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas neutrofil merupakan faktor responsif untuk merusak glomerulus. Selain dari pada itu neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya auto antibodi terhadap IgG yang berubah tersebut., mengakibatkan pembentukan kompleks imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal (Lumbanbatu, 2003).

2.2.4 Rencana Perawatan

Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
a.    Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlak selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985).

b.    Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis (Wahab, A. Samik, 2000).

c.    Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi (Wahab, A. Samik, 2000).

d.   Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sejatinva untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis (Wahab, A. Samik, 2000).

e.    Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga (Wahab, A. Samik, 2000).

2.3 Hubungan Sistem Urinaria dengan Gigi dan Mulut

            Fokal infeksi adalah terjadinya infeksi di dalam tubuh dengan tempat masuk bakteri  yang jauh dare tempat terjadinya infeksi. Infeksi pada gusi dapat menyebar ke jaringan tubuh lain salah satunya ginjal. Penyebab utama infeksi pada gusi serta jaringan pendukung gigi lainnya adalah mikroorganisme yang berkumpul di permukaan gigi (plak bakteri). Plak bakteri yang telah lama melekat pada gigi dan jaringan gusi dapat mengalami kalsifikasi (mengeras) sehingga menjadi kalkulus (karang gigi) yang biasanya tertutup lapisan lunak bakteri. Bila sudah mengalami
kalsifikasi (karang gigi) maka pembersihan nya sudah tidak dapat menggunakan
sikat gigi tetapi harus  melalui pembersihan mekanis oleh dokter gigi (Syaifudin,2006).
            Bakteri pathogen (perusak) yang melekat ke permukaan gigi di sekitar gusi untuk jangka waktu yang cukup lama ,membuat jaringan gusi terpapar produk toksin (racun) bakteri tersebut. Saat jaringan gusi terpapar toksin (racun) bakteri maka tubuh membaca hal tersebut sebagai antigen yang merangsang antibodi dalam tubuh kita untuk membentuk kompleks antigen-antibodi. Dalam keadaan normal kompleks antigen antibodi tersebut dimusnahkan dan selanjutnya hilang dari sirkulasi darah. Namun, pada keadaan tertentu adanya kompleks imun dalam sirkulasi dapat mengakibatkan berbagai kelainan dalam organ tubuh yang disebut penyakit kompleks imun (Syaifudin,2006).

            Penyakit kompleks imun ini disebabkan oleh endapan kompleks imun pada organ spesifik salah satunya ginjal. Kompleks imun ini dapat mengendap pada kapiler glomerulus pada ginjal yang dapat menyebabkan kerusakan pada glomerulus ginjal (glomerulonefritis). Untuk mencegah terjadinya fokal infeksi tersebut maka kita harus memperhatikan kebersihan rongga mulut kita sehingga tidak menyebabkan penyebaran infeksi ke jaringan tubuh yang lain (Syaifudin,2006).