|
|
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Sistem Urinaria
2.1.1
Pengertian Sistem Urinaria
Sistem urinaria terdiri dari organ-organ yang memproduksi urin dan
mengeluarkannya dari tubuh. Sistem ini
merupakan salah satu sistem utama untuk mempertahankan hemostatis (kekonstanan
lingkungan internal) (Sloane, 2004).
2.1.2 Struktur Sistem Urinaria dan Fungsinya
2.1.2.1 Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen,
terutama di daerah lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus
lapisan lemak yang tebal, dibelakang peritonium, dan karena itu di luar rongga
peritoneum ( Sloane, 2004).
Kedudukan ginjal dapat diperkirakan dari belakang,
mulai dari ketinggian vertebra torakalis terakhir sampai vertebrata lumbalis
ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari kiri, karena hati menduduki
banyak ruang di sebelah kanan.
Ginjal mempunyai fungsi diantaranya sebagai berikut:
1. Mengeluarkan
sekret urin
2. Pengeluaran
zat sisa organik
3. Pengaturan konsentrasi ion-ion penting
4. Pengaturan asam basa tubuh
5. Pengaturan produksi sel darah merah
6. Pengaturan tekanan darah
7. Pengeluaran zat
beracun ( Sloane, 2004).
2.1.2.2 Ureter
Terdapat dua ureter berupa dua pipa saluran yang
masing-masing bersambung dengan ginjal dan dari ginjal berjalan ke kandung kemih. Tebal setiap ureter kira-kira setebal
tangkai bulu angsa dan panjangnya 35-40 cm.
Terdiri atas dinding luar yang fibrous,lapisan tengah
yang berotot dan lapisan mukosa sebelah dalam. Ureter mulai sebagai pelebaran
hidung ginjal dan berjalan ke bawah melalui rongga abdomen masuk ke dalam
pelvis dan dengan arah bolak-balik bermuara ke dalam sebelah posterior
kandung kemih.
Fungsi ureter adalah
menyalurkan urin dari ginjal ke kandung kemih (Pearce C. Evelyn, 2011).
2.1.2.3 Kandung Kemih
Kandung kemih
bekerja sebagai penampung urin, organ ini berbentuk buah pir (kendi). Letaknya di dalam panggul besar,di depan isi lainnya dan di belakang
sinfisis kubis. Pada bayi letaknya lebih tinggi. Bagian terbawah terpancang
erat dan disebut basis, bagian atas atau fundus naik kalau kandung memekar atau
mengembang karena urin. Puncaknya atau apeks
mengarah ke depan bawah dan ada di belakang
sinfisis kubis (Pearce C. Evelyn, 2011).
Menurut Evelyn (2011), dinding kandung kemih terdiri atas:
1. Sebuah lapisan serus sebelah luar
2. Lapisan berotot
3.Lapisan sub mukosa
4. Lapisan mukosa dari epithelium
transisional (peralihan).
Fungsi kandung kemih adalah untuk
menampung urin yang
disalurkan ureter dari ginjal (Pearce C. Evelyn, 2011).
2.2.2.4 Uretra
Uretra
ialah sebuah saluran yang berjalan dari leher kandung kemih ke luar, dilapisi membran mukosa yang
bersambung dengan membran yang melapisi kandung kemih. Meatus
urinalis terdiri dari serabut otot lingkar, yang membentuk spinter uretra. Pada
wanita panjang uretra adalah 2,5-3,5 cm. Dan pada pria
17-22 cm. Fungsi uretra adalah mengeluarkan urin dari kandung
kemih (Pearce C. Evelyn, 2011).
2.1.3 Pembentukan
Urine
Urin berasal dari darah
yang dibawa arteri renalis masuk kedalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian
yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah.
Ada 3 tahap pembentukkan urine, yaitu:
a. Proses
Filtrasi
Proses filtrasi terjadi di glomerolus,
proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar dari permukaan eferent
maka terjadi penyerapan darah, sedangkan yang tersaring adalah bagian cairan
darah kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang
terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dan lain-lain, kemudian diteruskan di tubulus ginjal (Sloane, 2004).
b. Proses
Reabsorpsi.
Pada
proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium,
klorida, fosfat,
dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan
obligator reabsorbsi
terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi
kembali penyerapan dan sodium dan ion bikarbonat, bila diperlukan akan diserap
kembali kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya terjadi secara aktif
dikenal dengan reabsorbsi
fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis (Sloane, 2004).
c. Proses
Sekresi
Pada proses sekresi, sisa penyerapan kembali
yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan
keluar (Sloane, 2004).
2.1.4 Gangguan Sistem Urinaria
1. Sistitis,
adalah inflamasi kandung kemih. Inflamasi
ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (biasanya Eschericia coli) yang menyebar dari uretra atau karena respon
alergi atau akibat iritasi mekanis pada kandung kemih. Gejalanya adalah sering
berkemih dan nyeri ( disuria) yang disertai darah dalam urin (hematuria).
2. Glomerulonefritis
adalah inflamfsi nefron, terutama pada glomerulus.
a. Glomerulonefritis
akut, seringkali terjadi akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu (
kelompok Streptococcus beta A).
b. Glomerulonefritis
kronik, tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus. Inflamasi ini
mungkin diakibatkan infeksi Streptococcus,
tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit sistemik lain atau karena
glomerulonefritis akut.
3. Pielonefritis
adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri. Inflamasi
dapat berawal di traktus urinaria bawah ( kandung kemih) dan menyebar ke
ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi
traktus urinaria terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau
defek kongenital yang memicu terjadinya
piolenefritis.
4. Batu
ginjal (kalkuli urinaria), terbentuk dari pengendapan garam kalsium, magnesium,
asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersama urin, batu yan
g lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri dan tajam
( kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan.
5. Gagal
ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya retensi
garam, air, zat buangan nitrogen ( urea dan kreatinin) dan penurunan drastis
volume urin (oliguria).
a. Gagal
ginjal akut terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berhasil diobati. Penyakit
ini ditandai dengan oliguria mendadak yang diikuti dengan penghentian prokduksi
urin (anuria) secara total. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah ke
ginjal akibat trauma atau cedera, glomerulonefritis akut, hemoragi, transfusi
darah yang tidak cocok atau dehidrasi
berat.
b. Gagal
ginajl kronik adalah kondisi progresif parah karena penyakit yang mengakibatkan
kerusakan parenkim ginjal, seperti glomerulonefritis kronik atau pielonefritis,
trauma, atau diabetes nefropati (penyakit ginjal akibat diabetes melitus).
Penyakit ini diobati melalui hemodialisis atau transplantasi ginjal (Sloane,
2004).
2.1.5 Komposisi Urine
a. Zat
buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari
katabolisme asam nukleat, dan kreatin dari proses penguratan kreatin fosfat
dalam jaringan otot.
b. Asam
hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah.
c. Badan
keton yang dihasilkan dalam metabolisme
lemak adalah konstitusien normal dalam jumlah kecil.
d. Elektrolit
meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat, kalsium, dan
magnesium.
e. Hormon
atau katabolit hormon ada secara normal dalam urin.
f. Berbagai
jenis taksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau enzim secara normal
ditemukan dalam jumlah kecil.
g. Konstituen
abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah, sejumlah besar badan keton,
zat kapur (terbentuk saat zat mengeras dalam tubulus dan dikeluarkan), dan batu ginjal atau
kalkuli (Sloane, 2004).
2.1.6
Sifat Fisik Urine
a. Warna.
Urine encer berwarna kuning pucat, dan kuning pekat jika kental. Urin segar
biasanya jernih dan menjadi keruh jika didiamkan.
b. Bau.
Urin memiliki bau yang khas dan cenderung berbau amonia jika didiamkan. Bau ini
dapat bervariasi sesuai dengan diet, misalnya setelah makan asparagus. Pada
diabetes yang tidak terkontrol, aseton menghasilkan
bau manis pada urin.
c. Asiditas
atau alkalinitas, pH urin bervariasi antara 4,8 sampai 7,5 dan biasanya
sekitar 6,0 tetapi juga bergantung pada diet. Ingesti makanan yang berprotein
tinggi akan meningkatkan asiditas, sementara diet sayuran meningkatkan
alkalinitas.
d. Berat
jenis urin berkisar anatara 1,001- 1,035, bergantung pada konsentrasi urin
(Sloane, 2004).
2.1.7 Syaraf yang Mempengaruhi Sistem Urinaria
Kandung
kemih mendapat persyarafan utama dari syaraf-syaraf pelvis, yang berhubungan dengan
medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan segmen
S-2 dan S-3 dari medulla spinalis. Perjalanan melalui syaraf pelvis terdapat dalam 2 bentuk
persyarafan yaitu serabut syaraf
sensorik dan syaraf
motorik. Serabut sensorik mendeteksi derajat regangan dalam dinding kandung
kemih. Sinyal – sinyal regangan khususnya dari uretra posterior merupakan
sinyal yang kuat dan terutama berperan untuk memicu refleks pengosongan kandung
kemih (Guyton dan Hall, 2008).
Persyarafan motorik
yang dibawa dalam syaraf-syaraf pelvis merupakan serabut
parasimpatis. Syaraf
ini berakhir di sel ganglion yang terletak di dalam dinding kandung kemih.
Kemudian syaraf-syaraf postganglionic
yang pendek akan mempersyarafi
otot detrusor (Guyton dan Hall,
2008).
Selain syaraf pelvis, terdapat dua jenis
persyarafan lain yang penting untuk mengatur fungsi kandung kemih. Yang paling
penting adalah serabut motorik skeletal yang dibawa melalui syaraf pudensus ke sfingter eksterna
kandung kemih. Syaraf
ini merupakan serabut syaraf
somatik yang mempersyarafi
dan mengatur otot rangka volunter pada sfinger tersebut. Kandung kemih juga
mendapatkan persyarafan simpatis dari rangkaian simpatis melalui syaraf-syaraf hipogastrik, yang terutama
berhubungan dengan segmen L-2 dari medulla spinalis. Serabut simpatis ini
terutama merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek terhadap proses
kontraksi kandung kemih. Beberapa serabut sayraf sensorik juga berjalan melalui
persyarafan simpatis dan mungkin penting untuk sensasi rasa penuh dan nyeri (Guyton dan Hall, 2008).
2.1.8 Hormon
yang Mempengaruhi Sistem Urinaria
Ada suatu sistem umpan balik yang kuat untuk mengatur osmolaritas plasma
dan konsentrasi natrium, yang bekerja dengan cara mengubah ekskresi air oleh
ginjal, dan tidak bergantung pada kecepatan ekskresi zat terlarut. Pelaku
utama dari sistem umpan balik ini adalah hormon antidiuretik (ADH), yang juga
disebut vasopressin (Guyton dan
Hall, 2008).
Bila osmolaritas cairan
tubuh meningkat diatas normal (yaitu zat terlarut dalam cairan tubuh menjadi
terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH,
yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap
air. Keadaan ini memungkinkan terjadinya reabsorpsi air dalam jumlah besar dan
penurunan volume urin tetapi tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut
oleh ginjal secara nyata
(Guyton dan Hall, 2008).
Bila terdapat kelebihan
air didalam tubuh dan osmolaritas cairan eksternal menurun, sekresi ADH oleh
hipofisis posterior akan menurun oleh sebab itu, permeabilitas tubulis distal
dan duktus kolegentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah
besar urin encer. Jadi
kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan
dikeluarkan oleh ginjal (Guyton
dan Hall, 2008).
2.2
Glomerulonefritis Akut (GNA)
2.2.1 Pengertian Glomerulonefritis Akut (GNA)
Glomerulonefritis
akut adalah suatu peradangan pada glomerulus yang menyebabkan hematuria (darah
dalam air kemih), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein
dalam air kemih) (Novita, 2009). Glomerulonefritis akut seringkali terjadi
akibat respon imun terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta
A) (Sloane, 2004).
2.2.2 Mekanisme Terjadinya GNA
Glomerulonefritis
akut dapat timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus. Kasus seperti ini
disebut glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomerulus mengalami kerusakan
akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokakus yang mati dan
antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomerulus dan
mempengaruhi fungsinya. Glomerulonefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu
(rata-rata 2 minggu) setelah infeksi. Glomerulonefritis pasca streptokokus
paling sering terjadi pada anak-anak diatas 3 tahun dan dewasa muda (Mansjoer,
A., dkk., 1999).
2.2.3
Gangguan Sitem Imun (Autoimun)
Tugas sistem imun
adalah mencari dan merusak invader yang membahayakan tubuh manusia.
Sel imun terdapat dalam darah, khususnya di leukosit (Fatmah, 2006).
Bila sistem imun mengalami gangguan, akan menyerang dan
menghancurkan jaringan tubuh yang sehat. Gangguan ini disebut gangguan atau penyakit autoimun.
Gangguan autoimun adalah suatu kondisi
yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan
menghancurkan jaringan sehat. Pasien
dengan gangguan autoimun, sistem kekebalannya tidak bisa membedakan antara
jaringan tubuh yang sehat dan antigen. Hasilnya adalah resposn imun yang
merusak jaringan tubuh normal. Ini adalah reaksi hipersensitivitas mirip dengan
respon di alergi (Hermawan, 2010).
Pada kelainan glomerulus berupa glomerulonefritis akut
menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme
penyakit tersebut. Respon imun yang berlebihan dari sistem imun penjamu pada
stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya
kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal glomerulus. Disini
terjadi aktivasi sistem
komplemen yang melepas substansi yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom
yang dilepas neutrofil
merupakan faktor responsif untuk merusak glomerulus. Selain dari pada itu
neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan mengubah IgG endogen
menjadi autoantigen. Terbentuknya auto antibodi terhadap IgG yang berubah
tersebut., mengakibatkan pembentukan kompleks imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal (Lumbanbatu,
2003).
2.2.4 Rencana Perawatan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi
penyembuhan kelainan di glomerulus.
a. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu
dianjurkan istirahat mutlak selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal
untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi
penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat
buruk terhadap perjalanan penyakitnya (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985).
b. Pemberian penisilin pada fase akut.
Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis,
melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap
kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara
teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain,
tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika
alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari
dibagi 3 dosis (Wahab,
A. Samik, 2000).
c. Makanan. Pada fase akut diberikan
makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan
lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu
telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan
larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan
disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan
harus dibatasi (Wahab,
A. Samik, 2000).
d. Pengobatan terhadap hipertensi.
Pemberian cairan dikurangi, pemberian sejatinva
untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan
reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10
jam kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat,
0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena
memberi efek toksis (Wahab,
A. Samik, 2000).
e. Bila anuria berlangsung lama (5-7
hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara
misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan
ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan
oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan
dan adakalanya menolong juga (Wahab, A. Samik, 2000).
2.3 Hubungan Sistem Urinaria
dengan Gigi dan Mulut
Fokal
infeksi adalah terjadinya infeksi di dalam tubuh dengan tempat masuk bakteri yang jauh dare tempat terjadinya infeksi.
Infeksi pada gusi dapat menyebar ke jaringan tubuh lain salah satunya ginjal.
Penyebab utama infeksi pada gusi serta jaringan pendukung gigi lainnya adalah
mikroorganisme yang berkumpul di permukaan gigi (plak bakteri). Plak bakteri
yang telah lama melekat pada gigi dan jaringan gusi dapat mengalami kalsifikasi
(mengeras) sehingga menjadi kalkulus (karang gigi) yang biasanya tertutup
lapisan lunak bakteri. Bila sudah mengalami
kalsifikasi (karang gigi) maka pembersihan nya sudah tidak dapat menggunakan
sikat gigi tetapi harus melalui pembersihan mekanis oleh dokter gigi (Syaifudin,2006).
kalsifikasi (karang gigi) maka pembersihan nya sudah tidak dapat menggunakan
sikat gigi tetapi harus melalui pembersihan mekanis oleh dokter gigi (Syaifudin,2006).
Bakteri pathogen (perusak)
yang melekat ke permukaan gigi di sekitar gusi untuk jangka waktu yang cukup
lama ,membuat jaringan gusi terpapar produk toksin (racun) bakteri tersebut.
Saat jaringan gusi terpapar toksin (racun) bakteri maka tubuh membaca hal
tersebut sebagai antigen yang merangsang antibodi dalam tubuh kita untuk membentuk
kompleks antigen-antibodi. Dalam keadaan normal kompleks antigen antibodi
tersebut dimusnahkan dan selanjutnya hilang dari sirkulasi darah. Namun, pada
keadaan tertentu adanya kompleks imun dalam sirkulasi dapat mengakibatkan
berbagai kelainan dalam organ tubuh yang disebut penyakit kompleks imun
(Syaifudin,2006).
Penyakit kompleks imun ini
disebabkan oleh endapan kompleks imun pada organ spesifik salah satunya ginjal.
Kompleks imun ini dapat mengendap pada kapiler glomerulus pada ginjal yang dapat
menyebabkan kerusakan pada glomerulus ginjal (glomerulonefritis). Untuk mencegah
terjadinya fokal infeksi tersebut maka kita harus memperhatikan kebersihan
rongga mulut kita sehingga tidak menyebabkan penyebaran infeksi ke jaringan
tubuh yang lain (Syaifudin,2006).